Buatlah program manajemen perubahan
Ketika merencanakan transformasi Anda, jangan abaikan strategi penyampaian perubahan untuk menginspirasi, membekalkan keterampilan, serta memperlengkapi para pemangku kepentingan guna meraih keberhasilan.
Alasan yang paling sering dikutip untuk kegagalan proyek adalah orang. Ketika peserta didik, pengajar, administrator sekolah, dan orang tua tidak diberi tahu dengan benar dan matang, mereka sulit menerapkan perubahan. Prakarsa dengan tim manajemen perubahan yang sangat baik memiliki kemungkinan enam kali lebih besar untuk memenuhi tujuan dibandingkan prakarsa dengan manajemen perubahan yang buruk.
Aktivitas dapat mencakup pertemuan orang tua, poster, pemberitahuan, atau artikel di buletin sekolah, Anda juga dapat mengadakan hari perkenalan staf dan pengembangan profesional untuk memberikan berbagai keterampilan teknologi dasar serta apresiasi yang lebih luas terhadap sasaran-sasaran di seluruh sistem, yang diperkuat dengan dukungan berkelanjutan melalui kursus online, komunitas satu minat, dan pengakuan atas keberhasilan.
Berdayakan pengajar untuk mengelola peserta didik saat ini juga
Program yang berhasil bergantung pada pemberdayaan pengajar dalam lima cara:
1. Membuat perubahan menjadi relevan, spesifik, dan bermanfaat.
2. Menetapkan harapan yang tinggi atas pengajar dan peserta didik.
3. Memungkinkan pengajar untuk beradaptasi dan tumbuh melalui berbagai peluang pengembangan.
4. Mendukung pengajar dengan kebijakan sekolah yang berlaku, yang menetapkan pedoman jelas tentang penggunaan teknologi oleh peserta didik.
5. Berkoordinasi dengan orang tua untuk mengelola penggunaan teknologi di rumah.
Untuk melihat panduan teknologi, titik awal yang berguna adalah karya Annika Andersson, Asisten Profesor bidang Informatika di Orebro University Swedia. Ia mewawancarai sejumlah pengajar di sekolah-sekolah digital, salah satunya berkomentar, “Dibutuhkan banyak waktu pelajaran hanya untuk meminta siswa menutup komputer… atau meminta mereka menutupi halaman Facebook.”
Penelitian Andersson menemukan bahwa akar masalahnya adalah minimnya panduan praktik sekolah ketika menyangkut berbagai gangguan semisal media sosial. Ia merekomendasikan untuk mengalihkan tanggung jawab menjadi berskala sekolah melalui penerapan kebijakan. Andersson juga menyarankan pembaruan praktik mengajar, untuk menghindari perangkap berbahaya yang hanya menyalahkan peserta didik yang lebih lemah akibat kurangnya pengendalian diri mereka, yang hanya memperlebar kesenjangan antara peserta didik yang berprestasi lebih tinggi dan lebih rendah. Andersson mencatat, “Salah satu tanggung jawab orang dewasa adalah melindungi anak-anak dari tantangan yang tidak dapat mereka atasi.”
Ini membawa kita ke cara ketiga untuk memberdayakan pengajar, yaitu melalui pengelolaan sifat adiktif dari teknologi yang lebih baru. Dalam bukunya, Digital Cocaine, Brad Huddleston menemukan bahwa, secara neurologis, tidak ada perbedaan dalam kecanduan antara bermain video game selama satu jam dan mengonsumsi setengah garis kokain.
Mengelola tingkat risiko ini membutuhkan upaya terkoordinasi antara pengajar, orang tua, dan peserta didik. Pengajar perlu mendidik peserta didik tentang penggunaan yang tepat, sementara orang tua harus memastikan hal ini diitegakkan di rumah. Sementara itu, peserta didik pantas untuk dihormati, melalui diskusi jujur dan terbuka mengenai bahaya mengakses konten yang tidak pantas dan bagaimana hal ini dapat sangat memengaruhi pikiran, relasi, tindakan, dan prospek masa depan mereka.
Banyak sekolah telah menyusun kontrak berisi seperangkat peraturan yang jelas tentang penggunaan teknologi yang meliputi:
ü Keamanan
ü Perundungan siber
ü Pesan dan panggilan
ü Akses internet
ü Instalasi aplikasi
ü Pengambilan foto dan video
ü Penggunaan tablet/smartphone di sekolah
ü Tanggung jawab atas kerusakan dan perbaikan
Komentar
Posting Komentar