Pengertian Demokrasi Pendidikan
Menciptakan kultur demokrasi pada berbagai aktivitas kehidupan masyarakat bukanlah persoalan mudah, akan tetapi membutuhkan banyak waktu dan proses yang panjang. Bagi Indonesia yang baru memulai hidup berdemokrasi, tentunya membutuhkan perangkat-perangkat demokrasi guna menunjang kesiapan masyarakat menghadapi kehidupan di arena demokrasi.
Dalam kaitan dengan pendidikan, aroma demokrasi jelas sangat dibutuhkan, karena pendidikan memiliki peran vital dalam mewujudkan generasi muda yang terbiasa dengan alam demokrasi. Untuk itulah penerapan demokrasi dalam pendidikan merupakan suatu keharusan, di samping pendidikan demokrasi itu sendiri. Alam demokrasi itu juga sekaligus menjadi wahana pembelajaran peserta didik untuk saling menghargai, menghormati, dan memahami berbagai persoalan kehidupannya secara lebih bijaksana dengan tidak melukai perasaan dan hak-hak orang lain.
Menurut Prasetiya (2000), demokrasi pendidikan dalam pengertian luas mengandung tiga hal berikut ini:
- Rasa hormat terhadap harkat sesama manusia.
- Setiap manusia memiliki perubahan ke arah pikiran yang sehat.
- Rela berbakti untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama.
Menurut Hasbullah (1999), demokrasi dalam pendidikan ditujukan dengan pemusatan perhatian pada peserta didik dalam keadaan yang sewajarnya (intelegensianya, kesehatannya, keadaan sosialnya, dll). Karena itu pendidikan yang demokratis adalah pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada setiap peserta didik untuk mendapatkan pendidikan di sekolah sesuai dengan kemampuannya, baik secara vertikal maupun secara horizontal. Dengan demikian, demokrasi pendidikan merupakan pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama dalam berlangsungnya proses pendidikan antara peserta didik, pendidik, dan pengelola pendidikan.
Demokrasi dalam pendidikan ditafsirkan bahwa setiap putra-putri Indonesia berhak akan kesempatan yang setinggi-tingginya untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan kemampuan intelegensinya (A.H. Nasution, 1985). Menurut H.B. Hamdani Ali, bahwa demokrasi dalam pendidikan merupakan proses untuk memberikan jaminan dan kepastian adanya persamaan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dalam suatu masyarakat tertentu. Oleh karena itu, melakukan demokrasi dalam pendidikan adalah suatu ide yang lebih luas dan didasarkan atas kepercayaan bahwa dalam diri pribadi setiap orang dari segala strata sosial terdapat potensi-potensi yang belum dimanfaatkam untuk mengelola perkembangan yang tidak dapat dicapai dengan sistem pendidikan yang konvensional (H.B. Hamdani Ali, 1993).
Pendidikan Dalam Perspektif Demokrasi
Demokrasi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya adalah suatu gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Perlakuan yang sama merupakan hak semua warga negara, sedangkan memperlakukan secara sama terhadap rakyat adalah kewajiban pemerintah, termasuk dalam hal pendidikan. Dalam pendidikan, demokrasi diartikan bahwa setiap putra-putri Indonesia tanpa memandang perbedaan suku, ras, agama, dan sebagainya memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya sesuai dengan kemampuan intelegensinya. Dalam hal ini, pemerintah mesti memfasilitasi sesuai dengan yang diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 dan 2.
Pendidika merupakam wahana yang efektif untuk memperlakukan seseorang secara demokratis, dengan mengembangkan sikap saling menghormati yang dilandasi prinsip equality terhadap sesamanya. Dalam demokrasi pendidikan merupakan aktivitas penting, karena di dalamnya terdapat interaksi mutualisme di antara komponen-komponen tersebut. Interaksi mutualisme ini tidak dapat dipahami secara ekonomis saja, namun harus dilihat dari segi intelektual dan investasi kemanusiaannya.
Oleh karena itu, guru bukanlah entrepreneur individual, dan semua komponen pendidikan bukanlah entrepreneur kolektif yang kerjaannya lebih diorientasikan pada keuntungan (profit oriented). Sehingga segala tindakan dihalalkan demi mencapai tujuan yang telah digariskan. Hal ini akan menimbulkan tindakan-tindakan yang mengabaikan aspek persamaan, pluralitas, dan kebebasan yang merupakan inti dari demokrasi, yang secara perlahan akan menyebabkan rusaknya sistem interaksi harmonis dalam kehidupan bermasyakat.
Demokrasi memandang bahwa pendidikan merupakan media efektif untuk sosialisasi nilai-nilai demokrasi. Nilai-nilai demokrasi seharusnya menjadi pegangan yang dominan dalam proses pembelajaran. Hal itu karena dalam pendidikan terutama sistem persekolahan sangat rentan terhadap pengabaian nilai-nilai luhur demokrasi. Sikap-sikap otoriter, indoktrinasi, dan penanaman ideologi tertentu jelas telah mengabaikan kebebasan memilih, berkreasi, dan memaksakan kehendak pribadi-pribadi yang semestinya harus dihormati.
Demokrasi memandang bahwa dalam pendidikan tidak ada pengkotak-kotakan bagi golongan tertentu dan monopoli, baik oleh pemerintah maupun oleh golongan tertentu. Pendidikan harus diakui sebagai hak masyarakat, karena pendidikan merupakan ativitas masyarakat. Oleh karena itu, aspirasi masyarakat merupakan acuan dan arah pendidikan yang akan dikembangkan.
Partisipasi publik (public participation) dalam pendidikan merupakan hal yang mutlak diperlukan. Hal ini dikarenakan sering kali terjadi perbedaan antara kebutuhan masyarakat dan output dari pendidikan. Pendidikan dari, oleh, dan dilaksanakan bersama-sama masyarakat. Masyarakat yang menyelenggarakan dan masyarakat pula yang menikmati hasilnya. Namun yang menjadi masalah, banyak dari warga masyarakat yang tidak dapat mengakses pendidikan.
Kesadaran masyarakat (collective consciousness) masyakarat akan pentingnya demokrasi dalam pendidikan perlu dibangunkan dari tidur pulasnya, karena hal itu merupakan modal utama penyelenggaraan pendidikan. Sebab, sebagus apa pun peraturan dari pemerintah jika tanpa kesadaran kolektif masyarakat untuk melaksanakannya, maka hasilnya tetap saja "nihil". Pentingnya pelaksanaan demokrasi dalam pendidikan bukan hanya terbatas pada pemberian jaminan adanya persamaan hak untuk mendapatkan pendidikan bagi semua warga negara saja, melainkan lebih dari itu, bagaimana agar prinsip-prinsip demokrasi bisa diaplikasikan dalam aktivitas pendidikan.
Untuk melaksanakan demokrasi dalam pendidikan tidak hanya dititikberatkan pada adanya jaminan persamaan untuk memperoleh pendidikan, namun yang tidak kalah pentingnya yakni mengaktualisasikan prinsip-prinsip demokrasi dalam pendidikan.
Prinsip persamaan yakni adanya jaminan persamaan hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Program wajib belajar yang telah dicanangkan mestinya dapat dilaksanakan dengan penuh kesungguhan. Jadi, bukan hanya dijadikan alat pengelabuan pemerintah pada rakyatnya, bahwa pemerintah mempunyai "gairah" untuk memajukan pendidikan rakyatnya. Jika program tersebut tidak dapat dilaksanakan secara sempurna dikarenakan terjadi pembengkakan biaya pada APBN atau APBD. Sebaiknya dilakukan dengan pembebasan biaya pendidikan hanya bagi yang berprestasi di masing-masing sekolah. Jadi, pelaksanaan program tersebut didasarkan atas prestasi siswa. Hal ini akan memberikan stimulus pada siswa untuk terus belajar memacu prestasi dan mengembangkan potensi-potensinya.
Prinsip kebebasan yakni tidak adanya pemaksaan pada siswa dalam aktivitas pendidikan. Mereka mesti diberikan kesempatan yang cukup untuk mengaktualisasikan keinginannya. Prinsip ini tidak membenarkan adanya praktik indoktrinasi atau yang menurut Paulo Freire, pendidikan gaya bank. Guru mesti dimerdekakan dalam mendidik siswanya. Guru mesti diberikan otoritas penuh untuk mengembangkan kreativitas-kreativitas dan pola pikir yang baru, yakni yang tidak memandang pengembangan kurikulum dan aspek kognitif semata, tapi juga aspek afektif dan psikomotorik. Begitu pula halnya dengan siswa, mereka harus dimerdekakan agar dapat mengembangkan dirinya. Guru harus mampu mengajar, mendidik, dan merangsang pertumbuhan kesadaran nilai-nilai pada para siswa. Idealnya ialah bahwa setiap guru dari waktu ke waktu mampu mengajar dan mendidik secara inspireren, yaitu mampu mengilhami para siswa untuk menginginkan hal-hal yang lebih besar dari dalam dirinya. Pembinaan seperti ini disebut konatif volitif. Pembinaan seperti ini hanya dapat dilakukan dalam kondisi yang ditandai oleh adanya kesadaran kolektif guru untuk menerima keterbatasan yang ada pada mereka sendiri dan merangsang peserta didik untuk mampu berbuat yang jauh lebih besar dari yang sudah ada.
Prinsip pluralisme yaitu pengakuan adanya kebhinekaan (diversity). Perbedaan peserta didik maupun daerah dimana mereka belajar adalah sesuatu yang tidak dapat diseragamkan. Dengan dalih keseragaman, perbedaan tersebut tidak dapat dihilangkan. Oleh karena itu, pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan keseragaman atas perbedaan tersebut adalah "semu", karena keseragaman yang didapat adalah keseragaman dalam "keterpaksaan." Pendidikan mesti didasarkan pada perbedaan itu.
Prinsip pengakuan terhadap HAM tidak dapat dilakukan dalam anggapan peserta didik lebih rendah daripada guru. Pengakuan tersebut dapat dilakukan dengan pandangan bahwa peserta didik adalah manusia yang harus dimanusiakan dan tidak ada yang lebih tinggi hak asasinya. Adalah hak asasi peserta didik untuk diperlakukan secara manusiawi oleh pendidiknya. Harus diakui bahwa mereka memiliki hak yang fundamental, seperti hak untuk berpikir, berekspresi, mencurahkan gagasan-gagasannya, dsb. Oleh karena itu, hak-hak tersebut mesti menjadi pedoman pelaksanaan pendidikan.
Pustaka :
Andi Hakim Nasution. 1985. Daun-Daun Berserakan; Percikan Pemikiran Mengenai Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan. Jakarta: Intisarana Aksara.
Hasbullah. 1999. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
H.B. Hamdani Ali. 1993. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Kota Kembang.
Prasetiya. 2000. Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Komentar
Posting Komentar