HOWDY Go-MENDIKBUD
Oleh : Joni Hermana, Guru Besar ITS Surabaya
Hari ini sudah sekitar sepuluh hari Nadiem Makarim menjadi Mendikbud. Ibarat pengantin baru, ini masih masa-masa bulan madu sehingga semuanya masih terasa manis. Terlepas dari respon pro dan kontra atas penunjukkannya sebagai Menteri karena bukan berlatarbelakang akademia, namun umumnya penerimaan masyarakat cukup positif. Dalam beberapa kesempatan beliau hadir, sambutannya bahkan bak seorang selebriti. Cukup menggembirakan. Semoga ia akan mampu menjaga momentum ini dengan baik seterusnya.
Sama dengan kebanyakan orang lain, saya pun berharap ia akan mampu melakukan transformasi pendidikan kita sehingga adaptif terhadap perubahan besar yang sedang berlangsung saat ini. Kepatutannya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) mungkin bisa dijawab dengan menyimak argumentasi yang dilontarkan seorang anak SMA kepada ibundanya yang juga dosen, ketika ibunya itu mempertanyakan mengapa seorang muda yang bukan seorang akademisi dipercaya mengelola proses pendidikan anak bangsa yang jumlahnya tak kurang dari 50 juta jiwa; dari mulai PAUD, TK, SD, SMP, SMA sampai PT. “Mama, give him a chance. Apa sih yang sudah dihasilkan oleh sekian banyak Mendikbud yang berlatarbelakang Profesor terhadap pendidikan kita selama ini?” Sebuah pertanyaan, yang hanya membuat sang ibu tercenung dan diam. Well, maybe he is right. Let’s see…
Sebagai seorang akademisi dan bahkan telah secara langsung berkecimpung dalam pengelolaan sebuah PT besar, saya pun sempat mempunyai kekhawatiran yang sama dengan Bu Dosen tadi, jadi wajar-wajar saja. Walaupun begitu, di sisi lain saya juga senang dengan hadirnya Menteri muda seperti ini. Soal usia, toh juga bukan jaminan bagi keberhasilan dalam mempimpin lembaga sebesar maupun sebanyak apapun manusia yang dikelolanya. Kalau berkaca dari sejarah, misalnya, Panglima Sudirman yang sangat legendaris berusia 29 tahun saat menjadi Panglima Angkatan Perang RI. Usia yang lebih muda, disandang oleh Napoleon Bonaparte ketika menjabat posisi yang selevel bahkan lebih tinggi sebagai Kaisar di Perancis yaitu sekitar 25 tahun. Bahkan Muhammad Al Fatih hanya berusia 21 tahun saat menaklukkan Kekaisaran Byzantium yang telah berkuasa lebih dari 11 abad di Eropa dan Belahan Asia. Artinya usia bukan masalah. Apalagi untuk anak muda sekelas Nadiem Makarim, yang telah mampu membawa perusahaannya – GoJek – sebagai satu-satunya wakil dari Indonesia yang masuk menjadi satu dari 19 perusahaan decacorn di dunia, dengan valuasi mencapai USD 10 millar (+ 140 Triliyun Rupiah), jelas bukan anak sembarangan.
Penunjukkannya sebagai Mendikbud, boleh jadi salah satunya merupakan buah kekesalan Presiden Jokowi yang selama 5 tahun memerintah, berulang kali meminta agar PT lebih adaptif terhadap disrupsi yang terjadi akibat adanya Revolusi Industri 4.0, termasuk membuka prodi atau fakultas yang sesuai dengan perkembangan terkini, misalnya Fakultas Kopi. Namun keinginan itu tidak kunjung terwujud, malah banyak PTN yang lebih berkutat mengotak-atik kemasan ketimbang isinya. Artinya, hanya struktur organisasi (OTK) dan nama prodi yang berganti seolah kekinian, padahal isi substansi keilmuannya tetap sama dengan yang lama. Sibuk membahas efisiensi, padahal bagi sebuah organisasi, efisiensi adalah level pertama dalam sistem manajemen sehingga selayaknya sudah merupakan kewajiban 'otomatis' yang harus mampu terwujud at the first place. Artinya kalau masih sibuk dengan hal ini, level pengelolaan PT kita maknanya masih sangat basic, sementara PT di LN manajemennya sudah pada level mengejar efektivitas bahkan sustainabilitas! Itu sebabnya dengan canda seorang sejawat pernah berkomentar bahwa tantangan bagi Mendikbud bagi dunia pendidikan di Indonesia sangat besar karena “Menterinya milenial, tetapi rombongan pengajar dan tenaga pendidikan dibawahnya masih kolonial”…he..hee.
Canda memang, tapi jujur ada benarnya. Tantangan terbesar pertama yang harus dihadapi oleh Mendikbud adalah bagaimana mereformasi dan mentransformasikan budaya sumberdaya manusia di bawahnya, yang jumlahnya juga jutaan. Proses transformasi ini akan berhasil jika ia tidak hanya fokus pada level organisasi kementerian (yaitu indikator kinerja) semata, tetapi juga berhasil merubah pada tataran individu dibawahnya (yaitu habits yang sesuai). Habits sering dimaknai sebagai sebuah perilaku manusia yang digerakkan oleh alam bawah sadarnya, bukan hanya kesadaran semata. Budaya kerja yang sudah terbangun di lingkungan ASN saat ini tidak seindah dan se-ideal apa yang dituliskan di dalam piagamnya. Jika harus menyebutkan contoh keberhasilan di Indonesia, walaupun belum sepenuhnya ideal, tokoh yang berhasil melakukan transformasi budaya sampai level individu seperti ini adalah Pak Jonan saat menjadi Dirut PT KAI, lalu untuk manajemen pemerintahan setidaknya ada dua nama yang saya kenali yaitu Bu Risma di Surabaya dan Pak Azwar Anas di Banyuwangi. Seni mengelola ASN yang sudah ‘given’ ini sangat berbeda dengan karyawan perusahaan swasta, sebab hampir mustahil mengenal kata “dipecat” kecuali, dan tidak ada pilihan lain selain, “membinanya”.
Tantangan terbesar kedua adalah bagaimana mampu berkordinasi dan bersinergi antara kementerian. Selama ini tidak kurang-kurang kebijakan yang telah dibuat Menristekdikti namun ternyata tidak berjalan mulus karena tidak samanya persepsi maupun norma yang dianut masing-masing kementerian. Misalnya peraturan Menteri yang dibuat untuk menyederhanakan sistem pertanggungjawaban keuangan dalam hal penelitian yang berbasis output. Nyatanya dalam praktek, tidak berjalan mulus karena lembaga pemeriksa keuangan tetap saja memberlakukan sistem pertanggungjawab keuangan yang lama, lembar demi lembar kuitansi untuk setiap pemakaian uang penelitian yang dikeluarkan harus dilampirkan, tidak peduli walaupun output yang dihasilkan sudah memenuhi target penelitian. Hal ini membuat kurangnya gairah meneliti dengan uang negara. Belum lagi “tuduhan” sementara orang tentang anggaran penelitian negara yang konon sebesar Rp. 26 T/tahun, apa saja hasilnya? Ini agak menggelikan sekaligus menyedihkan, sebab anggaran penelitian sebesar itu seolah diberikan kepada PT (Perguruan Tinggi) saja. Padahal dana yang dikelola Kemeristekdikti untuk penelitian lebih dari 4500 PT di Indonesia adalah tidak lebih dari Rp. 2 T. Lalu kemana yang 24 T? Itu adalah anggaran “penelitian” untuk seluruh lembaga dan kementerian di Indonesia yang di dalam organisasinya ada unit “litbang”(Penelitian dan Pengembangan)-nya!
Bicara masalah anggaran pendidikan 20% APBN, ini juga perlu diulas sedikit. Karena seolah Kemendikbud (+Kemenristekdikti) lah yang mengelola dana anggaran pendidikan setara Rp. 487,9 T tersebut. Ini juga keliru, anggaran yang dikelola kedua kementrian ini (sekarang menjadi satu kementrian) sebenarnya ditotal tidak lebih dari Rp. 76,18 T (3,11% APBN) saja, jumlah ini bahkan hanya setengah atau 50% dari valuasi GoJek yang Rp. 140T itu. Lalu kemana larinya dana pendidikan yang 16,89% APBN lainnya? Perinciannya adalah sbb: Transfer Daerah 12,7% APBN (Rp. 309.9 T), Kementerian Agama 2,21% APBN (Rp. 51.9 T), sisanya tersebar masing-masing ke DPPN (Rp. 20 T), BA BUN (Rp. 5,6 T), Kementerian lainnya (Rp. 24,3T). Artinya atas persepsi masyarakat yang salah ini, Pak Mendikbud kita harus siap menjadi “tertuduh” ketika capaian pendidikan kita yang kurang memuaskan, dari anggaran yang ‘hanya’ 76,18T tetapi “dipaksa bertanggungjawab” untuk seluruh anggaran pendidikan negara yang besarnya Rp. 487,9 T itu.
Namun tantangan terbesar Mendikbud menurut saya adalah bukan di PT, tetapi di Pendidikan Dasar dan Menengah, sesungguhnya. Pendidikan inilah yang sebenarnya menjadi peletak dasar dan pembentukan karakter yang digerakkan oleh kebiasaan perilaku (habits) yang baik. Selanjutan pendidikan tinggi nantinya tinggal membentuk level of competency dalam bidang keilmuan yang dipilihnya. Sekarang ini, PT malah sibuk menggarap kedua-duanya sehingga hasil pendidikan terhadap kompetensi keilmuannya menjadi tidak maksimal. Ini yang merupakan PR terbesar pendidikan kita saat ini. Karena itu, saya menyambut baik pidato perdana Mendikbud yang mengatakan bahwa ia akan menekankan penguasaan dasar ilmu pada anak sekolah, agar kompatibel dengan perkembangan jaman ke depan, yaitu Bahasa Inggris (twink 😊), Bahasa coding untuk penguasaan dunia maya, Bahasa data, yaitu Statistika dan Bahasa 'komunikasi jiwa' yaitu Psikologi. Ia juga menyatakan bahwa para pendidik diminta untuk lebih terbuka menerima tokoh pendidikan luar negeri yang lebih maju. Sangat setuju, karena untuk bisa menjadi besar, kita memang harus berpikir dan juga bergaul dengan lingkungan orang-orang besar lainnya.
Saya berharap Pak Menteri kita ini bisa secara baik memilih dan memilah apa yang harus diberikan kepada anak-anak didik kita dengan terobosan yang inovatif, tetapi tetap dengan mengedepankan nilai kebangsaan dan budaya yang kita anut. Sebagai professional mudah-mudahan ia secara genuine bisa mengedepankan pendidikan yang terlepas dari kepentingan-kepentingan politik tertentu sehingga membuat suasana lebih adem. Kita memang perlu selalu waspada terhadap paham-paham radikal yang sedang marak didengungkan saat ini, namun hendaknya hal itu tidak menjadi alasan bagi kita untuk bersikap tidak adil dan diskriminatif dalam mendidik anak-anak kita. Sebab mereka adalah anak-anak bangsa kita sendiri yang akan membangun peradaban di masa yang akan datang, mereka harus dihantarkan dan didik dengan kasih sayang, bimbingan dan perhatian. Bangun ketahanan pada diri mereka agar mereka mampu menepis setiap pengaruh negatif yang menyusup, jangan justru ditakut-takuti dan apalagi diancam dengan sanksi yang tidak mendidik. Kita perlu menumbuhkan iklim pendidikan yang kondusif, penuh rasa saling mempercayai dan menghormati di era milenial yang sangat terbuka dan global ini. Hal ini lah yang akan membuat anak-anak nyaman belajar dalam mempersiapkan dirinya secara sehat bagi masa depan dan juga bangsa kita secara umum. Semoga Pak Menteri mampu…Go-Mendikbud go***
Komentar
Posting Komentar